Entri Populer

Jumat, 21 Januari 2011

Tawadhu

Diposting oleh Annisa el Husna di 06.39 0 komentar
Tawadhu adalah sikap tunduk kepada Allah dan rendah hati serta sayang terhadap hamba-Nya. Insan yang tawadhu adalah hamba-hamba Allah yang yang berjalan di bumi dengan rendah hati.
(QS Al-Furqan [25]:63). 

Orang yang tawadhu adalah mereka yang tak pernah sombong dan bersikap angkuh serta tak pernah menyombongkan diri. Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh.

Sungguh Allah tak menyukai orangorang yang sombong dan membanggakan diri." (QS asy-Syu'ara [31]:18). Sesunguhnya, orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. (QS Al-Hujurat [49]:13).

Mudah-mudahan bangsa ini dapat mengembangkan budaya tawadhu, antara pejabat dan rakyat, rakyat dengan rakyat, sehingga tumbuh menjadi bangsa kuat yang ditopang oleh budaya kebersamaan dan saling menghormati.

Source; Republika

Selasa, 18 Januari 2011

Hidden Love Rembulan Pagi

Diposting oleh Annisa el Husna di 22.13 3 komentar
Hidden Love Rembulan Pagi

Pendahuluan

Bagaimana untuk memulainya? Hari ini aku merasa akan pergi tuk selamanya. Aku merasa ringan dan siap untuk terbang. Kesana... dimana Alia, Kak Muthia dan bang Ergi berada. Gabriel, maaf  jika kita tidak bisa bertemu... walau aku sangat memujamu, menginginkanmu dan memelukmu di hatiku tapi kau bukanlah untukku. Setiap manusia hanya mampu memimpikan lalu merencanakannya, tapi Tuhanlah yang menentukan segalanya. Aku sangat menyakini tu Gabriel. Kau tahu, aku sangat bangga dengan keputusanmu. Memulai tuk kehidupan yang baru. Aku... Hanafiah Fatah sangat bangga dengan mu, sahabatku, sahabat yang sangat kusayangi sama hal nya aku menyayangi Siska dan Tomi. Mereka, sahabat - sahabat yang slalu buatku bangga dan sukacita. Pagi ini kulihat rembulan tersenyum manis buatku, hingga tak terasa lagi sakit yang menyiksa ini. Lihatlah... aku masih mampu menulis semua ini. Tuhan... cita-citaku dan smua yang kulakukan tuk keluarga ku sudah Engkau wujudkan. Puji syukur atas segala yang telah Engkau berikan. Terimakasih. Aku diberi kelapangan. Hal ini sangat membuatku tenang.

Aku bahagia...
                                                                7 Desember 2009

1. IKATAN

Dia tampak kesulitan menjangkau buku di rak urutan ke empat dengan ketinggian kurang dari 200 cm. Kakinya meninjit, tangannya menggapai-gapai, tapi dia belum juga berhasil meraih buku yang diinginkannya. Buku yang cukup tebal dan berat bila diraih tangan kecilnya. Ditengah keramaian perpustakaan hanya satu orang yang memperhatikan, lalu menghampirinya.
"Loe mau ambil buku hijau itu?" Ramah ingin menawarkan bantuan.
"Iya..." Memasang wajah terheran-heran, tapi ia tetap membiarkan anak laki-laki tampan itu membantunya. Tangannya yang putih dan muda berhasil meraih buku yang berjudul  Pengembangan Hutan Manggrove. Sesaat itu juga, datang sesosok pemuda dengan wajah yang sudah familiar dimatanya. Dengan ingatan yang masih meraba-raba, Hana berusaha berpikir siapa anak itu.
"Hai Hana...".
Hana merasa sedikit kebingungan, dia menatap kedua anak laki-laki itu. Matanya menjurus satu-satu. Anak laki-laki ini juga sama tampannya. Ia  sangat manis dengan warna kulit yang sedikit lebih gelap. Anak itu bicara lagi.
"Sama siapa ke sini?".
"Oh aku, Aku sama temanku, Siska".
Hana menjawab polos plus spontan, sehingga Tomi tersenyum manis, sementara Gabriel tetap diam, mulutnya tidak berucap apapun. Hanya memperhatikan.
"Maaf sebelumnya, tapi kalian berdua siapa?"
Hana dengan nada khas, tanpa berdosa menanyakan hal itu, sontak membuat Tomi tertawa geli sambil menggeleng-gelengkan kepala, lain halnya dengan Gabriel, ia menunjukkan reaksi sedikit jengkel. Dengan tersenyum sinis ia merespon pertanyaan Hana.
"Hana...Hana, kok gak kenal sich ama kita" Sambil menunjukkan rasa tidak percaya, menggeleng-gelengkan kepala.
"Dimana ya..?"
Gabriel mulia kesal dengan Hana, yang seolah-olah tak tau berterima kasih dan mungkin dalam pikirannya sekarang, Hana adalah gadis paling sombong yang pernah ia kenal. Ia mendekati Hana dan menunjukkan lambang sekolah yang tertera di lengan bajunya, lalu ia menghambur begitu saja meninggalkan Tomi dan Hana. Seketika itu Siska datang dan berpapasan dengan Gabriel. Mereka saling menyapa akrab.
"Riel.....".
Gabriel membalas, sedikit cool. "Yup, gue duluan ya".
"Ya..". Jawab Siska santai. Siska mendekati mereka, dan langsung merangkul hangat Hana.
"Hi guys...".
Hana tampak mengkerut. Dia berpikir keras. "Kalian berdua juga sekolah di SMP yang sama, SMP 1 Tunggal Bhakti".
"Ya ampun Na... mereka kan anak kelas 2.A. Kelasnya di depan kelas kita, kok gak tau sich?"
Tomi pun menyambung omongan Siska.
"Mungkin jarang ketemu, kita pun ngak pernah kan berkenalan langsung. Kenalin.. aku Tomi, yang tadi itu sahabat aku, Gabriel, dia orangnya emang kayak gitu, cepat naik darah, tapi asyik kok.
"Maaf ya Tomi...". Hana memasang raut muka menyesal.
"Ngak apa kok Na, itu biasa. Oh iya Hana ama Siska ngapain ke Pustaka Daerah, cari buku apa?".
"Itu lho Tom, aku cari bahan buat karya ilmiah". Siska mengambil alih pembicaraan. Sadar akan kebodohannya, Hana kali ini berpikir cukup mendengarkan saja, berusaha sok akrab sudah terlalu terlambat tuk memperbaiki keadaan.
"Ama buk Lena ya? Lokal aku juga dapat tugas seperti itu, aku sekelompok ama Gabriel. Pembahasan kalian  soal apa?".
"Rencananya sich pelestarian pantai ama pengembangan potensinya".
"Lho kok sama? Aku juga pilih pembahasan itu. Kompetisi ini bisa jadi hangat... lawan juara bertahan bisa kacau nich".
"Takut loe ya...?. Hangat?. Emang teh manis yang hangat". Siska tertawa renyah, membaur dalam suasana keakraban, berbeda dengan Hana yang masih kikuk.
Sepulang dari Perpustakaan mungkin saat yang tepat buat Siska untuk sedikit berceramah. Memberi nasihat kecil buat Hana yang mungkin telah menyinggung perasaan anak berdua tadi.
"Hana berhentilah seperti ini! Mau sampai kapan kayak gini? Orang-orang kagak akan senang, wajar aja Ariel bersikap seperti itu". Siska menasehati Hana dengan serius.
"Tapi aku memang enggak tau kalo ternyata mereka itu satu sekolah dengan kita. Teman Hana kan cuma Siska, trus yang satu lokal ama Hana, huh, pastinya Hana tau persis mereka smua, dimana tinggalnya, pokoknya tau dech. Soal anak dari lokal lainnya mungkin ya... Hana ngak tau betul, tapi kok mereka tau Hana ya...” Hana tersenyum jail.
Hana begitu berbelit-belit menyampaikan pembelaan dirinya di depan Siska. Siska agak lelah menghadapi sifat Hana yang anti sosial itu. Walaupun begitu. Siska terus berusaha menghargai Hana dan sifatnya.
Suasana taman dengan angin bertiup lembut mengiringi pembicaraan mereka berdua, sepasang sahabat sejati yang telah melewati cerita penting dalam hidup. Membuat tak ada lagi perbedaan dan rasa egois satu sama lainnya.
"Dasar kuper". Siska meletup, Siska kesal, tapi Hana adalah orang nomor satu baginya, apapun yang terjadi, Siska telah berjanji pada dirinya untuk tidak meninggalkan Hana. Hana adalah malaikat di hidupnya yang dikirim Tuhan.
"Na, wajar lah mereka tau Hana, lah .. pemenang lomba puisi siapa coba?, Hanafiah Fatah.., pemenang lomba tulis cerpen siapa?. Puisi, mading... itu Hanafiah yang pegang, walau ya sich soal matematika Hana paling menyusahkan...” Hana lansung membelalak, kekurangannya disebut-sebut Siska.
"Apaan sich...". Hana pergi meninggalkan Siska, berjalan sambil menghentak-hentakkan kakinya. Siska mencoba mengejar dan merayunya sepanjang jalan sampai menuju ke halte.
"Na...Na sorry deh... ntar ujian aku bantuin deh, jangan ngambek gitu dong, ntar aku bantu yach sayang...". Hahaha ha ha. Gelak tawa berderai satu sama lain. “Janji ya, kasih Hana contek an!”
“Siip..... bosss”

Lain halnya dengan situasi yang dibicarakan Tomi dan Gabriel. Mereka dalam kondisi sedikit tegang setelah mengetahui fakta bahwa yang akan mereka hadapi adalah Hana dan Siska.
"Oh... jadi dia juga ambil tema yang sama?". Gabriel terheran-heran.
"Kenapa emangnya?. Loe takut tersaingi ya?. Bukan dia saja, tapi Siska juga ikut. Kesempatan loe buat menang akan terhambat”.
Gabriel terdiam sejenak untuk memikirkan ucapan yang akan dilontarkannya. Ia menatap ke arah Tomi.
“Tapi gue akan berusaha keras untuk memenangkan kompetisi ini. Selain ini sebagai tugas terakhir kita untuk loncat kelas, ini adalah perlombaan tingkat Nasional.
“Tenang aja sob. . . Kita akan berjuang. Loe percaya ama gue. Gua tau loe saat ini sedang pusing. Maunya gue, loe agak enjoy dikit aja bro. Apapun yang terjadi lho. Yang jelas kita berusaha. Yak kan??”
Mata Tomi memancarkan semangat. Tak mau melihat sahabatnya gundah, ia berniat akan berusaha sekuat apapun itu.
Persiapan mulai di lakukan anak-anak yang akan mengikuti perlombaan karya ilmiah tingkat Nasional ini. Pada jam senggang sepulang sekolah WarNet sudah dipenuhi dengan anak-anak yang sedang mencari bahan, Siska dan Hana masuk dan mereka bertemu dengan orang yang sama ketika di Perpustakaan Daerah kemarin. Hana mencoba memperbaiki kesalahan dengan  menyapa ramah pada mereka.
"Hai... kita ketemu lagi".
Ketus Gabriel membalas sapaan itu. "Emang di sekolah kagak?".
"Oh maaf ya soal kemaren, Aku..."
"Kenapa... nggak punya alasan ya..?
"Udah-udah!". Tomi berusaha menengahi. "Loe napa sich..? ketus banget".
"Gue ngak suka ama dia". Sambil menunjukkan jarinya ke muka Hana. "Gue akan rebut kemenangan yang selalu loe dapatin". Siska kaget dan maju ke depan Hana.
"Eh.. apa-apaan nie, jangan sok gitu dong Riel, emang semua orang tau loe juara umum di sekolah, kalian berdua adalah orang terbaik di sekolah. Tapi  jangan begini caranya dong, bersaing secara fair lah, jangan maen intimidasi begini. Kami nggak menginginkan sekadar kemenangan". Siska membantah di depan semua orang. Dan Hana pun mulai menyadari sesuatu. Ia turut memberikan pembelaan.
"Jadi Gabriel ingin memenangkan kompetisi itu?. Baiklah, aku nggak akan mengalah untuk kalian berdua. Aku mengerjakan apa yang aku suka dengan sepenuh hati dan itu sudah cukup membuatku senang. Bukan hanya sekadar kemenangan yang semu. Aku juga tidak akan berusaha untuk menang, tapi aku akan berusaha untuk berbuat yang terbaik bagiku dan kepuasan ku, bukan kepuasan orang lain. Bagaimana?". Mata Hana menantang tajam namun ketulusan dan keceriaaan tetap tersirat di dalamnya. Hana tersenyum manis kepada Gabriel. Dengan penuh makna, Gabriel bertanya-tanya dalam hati apa maksud senyum Hana tadi. Hana pun membimbing Siska menuju ke salah satu komputer, meninggalkan situasi yang tidak mengenakkan itu. Gabriel terdiam, pikirannya melayang-layang menuju rumah. Ia teringat ucapan papinya yang meminta ia memenangkan kompetisi itu. Ayahnya berharap ia dapat memenangkan kompetisi seperti  ini sekali saja, walau ia sebenarnya tidak suka.

"Gabriel itu kenapa sich?. Gila kali ya". Hana tertawa atas ucapannya sendiri. Konyol sekali baginya  dengan hal yang barusan terjadi.
"Iya tuh...heran ya?"
Hana menjawab dengan satu anggukkan.
"Padahal ia nggak pernah ikut lomba karya ilmiah sebelumnya, seingat ku cuma sekali ini". "Emang sich... awalnya kan emang nggak akan dilombakan, tapi Tomi bilang, dia dan Gabriel mau loncat kelas, mau test masuk SMU. Salah satu syaratnya bikin karya tulis kayak begini, ntar dilombakan karya tulis yang terbaik ke tingkat Nasional. Semua orang kan tau, kalau cuman kita yang di tunjuk, selain ini untuk tugas pribadi kita". Hana tidak mau memikirkannya, ia tersenyum lebar kepada Siska yang tampak masih kesal dengan sikap Gabriel tadi.
"Biar ajalah, jadi kita bisa suka-suka bikin Karya ilmiah ini, sesuai dengan kemauan kita kan. Kita jadi nggak ada beban terlalu berat dalam mewakili sekolah".
Siska turut semangat, ia selalu mendukung sohibnya itu. "Dengan pemeliharaan hutan Manggrove secara baik, kita bisa menjadikannya sebagai filter polusi. Sampah yang dibuang kelaut akan dijaring oleh akar-akarnya. Jika dirawat dengan baik, disepanjang pantai tertentu akan sangat baik dijadikan tempat wisata hutan Manggrove. Ini pasti akan unik. Selain kita bisa menyelamatkan pantai dari abrasi, hutan manggrove sangat penting untuk pelastarian pantai dan biota laut yang biasa hidup di ekosistem maggrove. Usaha dini dalam pencegahan bencana Tsunami dan Manggrove itu sendiri".
"Idenya emang hebat Na, tapi gimana ya?. Kayaknya terlalu biasa deh".
"Sis.. ini memang biasa, tapi kita bisa kombinasikan semuanya".
"Apa nggak terlalu  mengambang?"
 "Dengan membungkusnya dengan konsisten pada satu tema yang diangkat, jadinya emang hebat. Aku bisa bayangkan itu".
"Bagaimana dengan hutan Manggrove dan pengembangan pariwisata?"
"Exellent Sis!. Kamu bagus. Kita bisa survei. Ada banyak dunia yang memamfaatkan hutan Manggrove sebagai investasi wisata selain untuk pelestarian alam. Modal awalnya adalah negri kita sendiri. Kota kita Sis".
"OK. Kita buat perencanaan kerjanya".

****

14 tahun kemudian
"Apa yang bisa ku lakukan?"
"Apa saja. Yang penting kamu bisa membuka hati mu tuk dia. Aku ingin kau egois sekali saja. Mulailah memikirkan dirimu. Mencari kebahagiaan lain".
"Aku selalu berbuat apa yang menurutku benar dan tentu saja yang membuatku senang. Apa kamu melupakan hal itu. Siapa aku harusnya kamu tau lebih dari siapa pun".
"Aku tidak suka kalau Hana yang suka berkilah dan membantah".
"Apa aku terlihat membantah". Hana melemparkan senyum mentah kepada Siska.
"Sudahlah!. Mengalihkan pembicaraan. "Bagaimana jika toko kita yang baru ditambah lagi pegawainya?. Terlalu banyak pesanan akhir-akhir ini. Agaknya Tiara dan Sugeng bisa sedikit ringan".
"Jangan buru-buru, kita mesti memperhitungkan segalanya". Hana mengambil kalkulatornya. "Satu bulannya gaji pegawai dikalikan dengan modal pemesanan tiap minggunya dan ditambah ongkos angkutan. Ingat!. Toko itu masih di cicil pembayarannya. Kita masih butuh sekitar 67 juta, yang mesti kita keluarkan tiap bulannya. Tapi entahlah, menurutku pegawai yang akan ditambah mestinya adalah pekerja di belakang. Yang mengolah karangan bunga, buket dan perawatan. Itu intinya bukan?".
"Kamu ini sangat menyebalkan. Ujung-ujung pembicaraannya, semua diserahkan juga pada ku. Yang jelas yang dikatakan tadi ada benarnya juga. Tapi soal hitung-hitungan, ntar aku serahin aja ama Idris. Konsultan keuangan toko kita".
Hana sedikit mencemooh mendengar hal itu. "Bilang aja mau nemuin mantan pacar. Pak Dokter kita mau dikemanain. Mau dibuang ke laut?!. Pertimbangkanlah. Idris udah punya tunangan Sis".
"Harusnya aku yang bicara seperti itu. Kamu yang harusnya mempertimbangkan Tomi. Udah jelas-jelas dia telah melamar mu Hana".
"Hentikan!". Kali ini suaranya sedikit bernada tinggi.
"Maaf Sis...". Hana menyesal atas sikapnya barusan.
"Aku tau Tomi adalah sahabat kita, tapi apa bedanya...".
"Cukup Siska!". Hana menghentikan omongan Siska. Siska pun membungkam. Siska pergi meninggalkan Hana. Kini Hana sendiri di dalam ruangan yang beraromakan berbagai macam jenis bunga. Bunga-bunga itu harus dikirim ke kota segera hari ini. Siska meninggalkan Hana diruangan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan bunga sementara sebelum dikirim ke pemasok di kota. Awalnya mereka hanya merapikan dan membentuk beberapa  buket bunga pesanan. Kebiasaan yang selalu dilakukan, merawat dan mengatur rangkaian bunga. Membuat rancangan kerja, kebiasaan yang telah dilakukan sejak awalnya mereka dekat lalu menjadi sahabat. Lalu berubah menjadi perbincangan alot. Dan berakhir seperti ini. Dan selalu seperti itu. Pembicaraan dengan topik seperti itu akan menjadi pertengkaran kecil, kemudian menggantung begitu saja, bahkan seolah telah dilupakan.  Sejenak terdiam, Hana harus beranjak setelah mendengar dering ponselnya.
“Hana disini”
“Na, ini gue Riel”
“Ya... hai”
“Ntar malam kita chatting ya”
“Boleh..” Sedikit sendu jawaban dari Hana, namun itu terdengar sangat jelas dari telfon.
“Kenapa? Ada masalah ya Han”
“Ngak serius kok. Sampai nanti ya. Aku tunggu ntar malam”
OK....
Ia menutup ponsel. Menarik nafas dalam dan berlalu pergi. Hana keluar dari gudang, menuju ke dalam rumah. Gudang adalah bagian dari rumah mungil dengan dua kamar itu. Awalnya rumah itu ada tiga kamar, satu di bawah dan dua di lantai atas. Mengingat toko ada di depan rumah, jadi diputuskan kamar bawah direhap menjadi gudang bunga-bunga yang akan dipasarkan. Halaman rumah yang cukup luas tidak disia-siakan. Maka dibuatlah kebun bunga kecil. Rumah yang berada di kawasan Puncak sangat mendukung lingkungan hidup si bunga-bunga agar tetap segar sepanjang hari. Sangat mudah untuk mendapatkan udara yang sejuk disini. Apalagi pagi hari, semua tampak sangat menawan. Kehidupan yang sedikit jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Namun saat ini sudah semakin banyak saja developer yang membuka kawasan hunian baru. Tempat ini sudah semakin ramai. Dilain sisi omset toko di depan rumah pun semakin meningkat, selain kebun besar yang menjadi pemasukkan utama.
Didalam, tepatnya di ruang makan sudah tampak Siska yang sedang menyedu teh. Ada dua gelas terhidang di atas meja.
"Teh hangat, minumlah".
"Ya". Siska menyodorkannya tanpa melirik ke Hana. Ia menikmati tehnya.
"Ntar malam kirim salam ya buat Gabriel". Siska sedikit canggung.
"Maaf soal tadi". Hana tampak menyesal sekali. Masih menunduk.
"Udah biasa kok. Soal Hendri akan aku pertimbangkan." Hana membalas dengan senyum tipis.
"Na.. aku mau ke toko dulu ya".
Tut...tutt... Klakson mobil Tomi memanggil.
"Nah.. tu dia Si Tomi dah datang, tumben on time".
"Berangkat yach...".
"Hati-hati...".
Hana mengikuti sampai ke pintu. Dia melambaikan tangannya ke Tomi yang berada di dalam mobil. Siska turut melambaikan tangan juga ke Hana.
Siska bersorak ke anak buah toko dan pekerja lainnya.
"Gue pergi ya".
Untuk beberapa hari ini Siska berencana tidak akan pulang. Dia mau menjalankan rencana kerja yang telah dibikin untuk Toko baru mereka.
Mobil Tomi pun berangkat melaju pelan di jalanan sempit. Pembicaraan dimulai.
"Gabriel akan kembali. Ia akan pulang. Kamu tau kan kalau ia akan menikahi tunangannya itu sepulangnya dari luar negri".
"Lansung menikah?. Lho kok aku nggak tau ya...".
"Mungkin ia belum sempat bilang atau ia lupa".
"Kamu dari mana tau soal ini?"
"Semalam aku chatting dengan dia. Sekitar dua bulan lagi ia akan kembali ke Indonesia dan melangsungkan pernikahannya, lalu ia akan kembali lagi ke luar negeri menyelesaiakan kontrak kerja dan menunggu wisuda kedokteran istrinya. Setelah itu baru ia akan kembali menetap dan meneruskan perusahaan keluarganya. Semua sudah direncanakan rapi. Taulah siapa di belakang semua ini".
"Apa ia kagak bisa menentukan jalan hidupnya sendiri sekali saja".
"Kalau begini ingat masa lalu, ke masa 14 tahun yang lalu. Saat itu.....”

****

Di usianya ke 14 tahun, ia menitikkan air mata. Ia terus memegang erat map di tangannya. Ia duduk diam dengan rapuh.
"Kenapa harus menitikkan air mata untuk hal begini, kekalahan itu biasa. Lagian kita sudah lulus test. Kita bisa mulai sekolah di SMU pada tahun ajaran baru ini. Kenapa loe harus sedih karena tidak menang lomba karya ilmiah itu. Hal semacam itu sudah jadi makanan sehari-harinya Hanafiah dan Siska. Percuma aja deh Riel kalau kita ngotot kalahin mereka. Buktinya untuk tingkat Nasional masih mereka yang menang. Udahlah Riel...relakan aja!".
"Gue sih nggak peduli soal itu, tapi apa yang harus aku katakan ama Bokap. Gue dituntut untuk menang. Tapi gue nggak dapat kemenangan penuh itu".
Sekilas Hana yang melewati mereka mendengar pembicaraan Gabriel. Hana berbalik dan mencoba mendekati Gabriel dengan duduk tepat di sampingnya.
"Gue nggak bisa bilang maaf"
Kepala Gabriel yang awalnya tertunduk lemas, tegak seketika. Matanya mengarah memandang Hana. Ia menatap ke dalam mata Hana. Tatapan itu begitu jernih dan teduh. Wataknya yang tenang dan selalu tegar dengan keceriaannya tercermin saat itu.
"Selamat ya Riel.., Tom". Hana menyalami Tomi, lalu menyodorkan tangannya ke Gabriel. Mereka berdua pun bersalaman.
"Maaf ya soal yang dulu itu".
"Oh.. ngak apa kok".
"Ngomong-ngomong kalian berdua akan masuk SMU tahun ajaran ini lebih dulu, hebat banget yach".
"Ah biasa aja lagi kok". Tomi menjawab dengan sedikit malu-malu. Ia jadi salah tingkah melihat senyum manis Hana.
"Mau masuk Sekolah apa?".
"Kalau aku ikut Gabriel aja".
"Gimana tuh Riel, Kayaknya Tomi nggak mau jauh-jauh dari loe".
Air matanya yang kering berubah jadi senyum hangat.
"Rencananya SMU Internasional, selain SMU unggulan, fasilitasnya juga yang terbaik. Lagian Bokap yang udah ngatur semuanya".
"Wah, SMU favorit tuh. Good luck Aja ya...".
"Hana ntar Sekolah di situ juga yach, sekalian ama Siska".
"Gimana ya Tom, tapi Hana nggak begitu pintar jika dilihat dari standar nilai Sekolah itu".
"Jangan pesimis begitu dong!. Hana pasti dah mampu di bidang Bahasa".
"Itu udah pasti Hanafiah Fatah Jagonya". Tiba-tiba Siska datang dan bergabung.
"Cuman Hana itu paling lemah di bidang Matematika".
"Ih Siska nie apaan Sich. Sok tau ah. Nyebelin". Wajah tenang Hana berubah menjadi manyun.
Tomi tertawa. "Tenang aja soal matematika serahin aja ama Gabriel dan aku. Kami siap bantu kalian berdua lulus dengan nilai terbaik. Gimana Riel, setuju kan?
"Pasti". Gabriel menjawab dengan mantap.
Ingatan itu.  Ingatan 14 tahun yang lalu. Ia masih ingat dengan persis bagaimana ia dan mereka jadi sahabat. Tapi kenapa, guratan kesedihan terlukis di wajahnya yang mulus. Hidungnya yang lurus tegak dan mungil memerah. Di matanya yang bulat menggenang air mata.
Maafkan aku...
Walau mencoba melepaskan cinta itu dari hati ku...lalu membuangnya. Aku tetap tak berdaya. Jadi ku putuskan untuk memendamnya dalam hati saja. Tak ada salahnya memendam rasa cinta kita kepada seseorang, karena itu tidak akan melukai siapa pun. Cinta ini bukan segalanya, karena Tuhan telah melengkapi cinta ku dengan cinta yang lebih berharga. Walau memang berat, tapi ini tak lebih berat dari pada seseorang yang hanya mampu membuat pengharapan dan apabila ia tak mampu menggapainya, maka ia akan melupakannya begitu saja. Bagiku itu sangat kejam. Aku membangun harapanku dengan sungguh-sungguh. Aku berusaha mencoba mengambil hikmah yang terbaik dari setiap kejadian yang menimpa hidupku. Oleh karena itu aku akan memikirkan untuk menerima Tomi dalam hidupku ini. Tuhan... bantulah aku agar bisa membahagiakannya. Kuatkanlah aku selalu... Aku ingin sahabatku itu bahagia dengan ku. Walau sakit sangat membuatku sengsara, aku ingin kau buatku tegap dan tersenyum padanya. Aku menyayanginya Tuhan. Ya Allah... manusia tidak akan pernah tau dimana dan kapan akan didatangi kematian. Itu adalah FirmanMu Yang Maha Agung.
                                                                01.00 wib
            Disudut malam yang gemerlap nan juah disana, juga ada seorang pemuda terbangun di malamnya. Dimana penduduknya malah belum tidur dan sebagian dari mereka masih bersuka cita. Keputusan demi keputusan sulit. Ia hampir mati memikirkannya. Setelah perbincangan tadi, hatinya seperti bertambah beban.
Semua ada ceritanya masing-masing, dimana saat bergembira dengan tawa dan duka. Telah dilalui semua itu dengan hati. Ini adalah cerita aku dan dia juga mereka. Hidup dengan harapan. Tak ada  akhir untuk itu. Waktu bagiku sudah semakin berlalu, semakin dekat.  Biarlah...
Jangan bersedih Hera, engkau akan tetap hidup dalam hatiku meskipun aku mesti meninggalkanmu dan tak mampu melindungi mu seperti biasanya ku lakukan. Biar ku simpan semua cerita kita dan cerita cinta ku pada mu yang terpendam itu. Karna ku tak seharusnya untukmu. Aku mencintaimu Hera...

****
7 Tahun yang lalu...
"Lagi-lagi dia menghilang.
"Enggak kok.. dia mendadak harus pulang ke kampung.
"Tapi mengapa setiap ku ingin melihatnya..
"Iya tuh.. napa ya ia melakukan hal ini, mana mungkin kebetulan begini. Tomi memasang wajah sedikit menyesal.
"Jalan dunia mana bisa dimengerti...
Akhirnya Gabriel hanya bisa menerima ucapan Siska. Dunia siapa yang bisa menebakknya. Dia lah penguasa perputaran waktu.
"Sudah-sudah, gue pergi dulu yach... Sohib gue Tom.. kasih pelukan hangat buat gue..”
"Apa yang enggak buat loe sayang... muachhh...” Mereka berpelukan erat.
Siska dengan mimik aneh melihat tingkah mereka berdua. Walau begitu, ia tidak mampu menyembunyikan rasa harunya. Air matanya siap tumpah ruah. Melihat yang seperti itu, Gabriel rasanya semakin sulit meninggalkan Indonesia. Jauh dari sahabat-sahabatnya, yang sudah dianggap seperti saudara. Serasa melihat adik perempuan sendiri. Seperti itulah Gabriel memandanng Siska. Apalagi Siska menitikkan air mata untuknya. Ia jadi tidak karuan.
"Loe kagak perlu nangis... ha ha. Gak pergi perang, Cuma pergi lanjutin studi”
"Siapa yang nangis... Perasaanku rasanya sedih. Seperti kamu akan sungguh-sungguh berperang ke Amerika sana.
“I love you... I love you bro.  Gabriel memeluk kedua orang tersebut.
“Jangan lupa salam gue buat Hana... suruh dia nelfon gue segera.”
“Aman coy... tu tugas gue..”
Tomi melambaikan tanganya. Ia semangat. Terniat baginya dulu, ia tidak akan jauh-jauh dari Gabriel. Mereka akan sekolah di tempat yang sama. Dan akan berencana slalu bersama. Tapi setelah bertemu dua gadis itu. Hatinya terpikat berubah pikiran. Dilihatnya Siska masih sangat sedih saat melambaikan tangannya buat Gabriel. Erat tangannya menggenggam bahu Siska. Menguatkannya. Setelah bertahun-tahun. Kami sedang berjalan ke tujuan masing-masing.

Pesawat sudah take off menuju Amerika. Setelah berjuang mengikuti test yang sulit. Akhirnya Gabriel bisa melanjutkan kuliahnya di salah satu Universitas bergengsi dengan level kemampuan yang tidak sembarangan. (informasi tentang lokasi kuliah). Papi sudah duluan berangkat. Ia pasti ingin mempersiapkan semua yang terbaik.

Di bandara Tomi dan Siska segera ingin berpamitan dengan Mami Sherly.
“Ke rumah lah dulu. Mami akan sangat kesepian untuk dua minggu ini. Siska, nanti jangan lupa ke rumah ya, nginap lah di rumah Mami”
“Ika pengen banget Mi, tapi Mami kan tahu, kalo Ika aku mempersiapkan Toko baru kami”
“Oh ya, Mami lupa itu. Kamu dan Hana mau mulai bisnis. Itu bagus sekali. Bagaimana dengan mu Tomi?”
Mami mencubit lengan Tomi dengan geram.
“Kalo ga ada Gabriel, pasti kamu tidak mau lagi main ke rumah”
“Duh, Mami... Kita tidak kemana-mana. Kita pasti akan tetap seperti biasa. Main ke rumah, makan makanan enak buatan Mami”
Tomi cengengesan. Giginya tampak smua saat mengatakan itu. Setidaknya itu bikin hati Mami Sherly tenang. Bukan berarti Gabriel ke luar negeri, anak-anak nakal kesayangannya ini tidak main lagi kerumah. Hatinya bisa terhibur dengan kehadiran sahabat-sahabat Gabriel yang sudah dekat dengannya. Walau anak satu-satunya sudah berangkat jauh.

Di atas mobil bermerek Honda Civic ber cat kan putih keluaran 2006, Tomi mengendarai mobilnya dengan santai.
“Tidak mudah masuk Havard. Melanjutkan S2 disana adalah luar bisa. Ya kan?”
Guratan kesedihan masih mengukir jelas di wajah Siska. Hidungnya masih berair karena menahan tangis.
“Dia akan magang dan setelah itu kontrak kerja di perusahaannya Donald Trump. Itu hebat sekali. Waw... Siapa yang tidak kenal Donald Trump”
“Ya...ya..ya... Aku tahu. Bahkan aku sudah bilang tuk menyampaikan salam ku untuk Mr. Trump itu. Hebat sekali. Setelah memperoleh pengalaman kerja yang cukup. Dia akan pimpin perusahaannya sendiri. Smua sudah di atur sejak awal”
Alunan love me tender mengiringi perjalanan santai mereka dari Bandara. Sementara Hana sedang dalam perjalanannya juga. Ia menaikki bis menuju kota asalnya. Iringan keras musik bermelodikan kota asalnya menghentak keras di telinga. Hana tak sabar ingin segera sampai di kota dan bertemu keluarga yang bertahun-tahun tlah lama tidak bertemu. Ia sedang menuju ketenangan dan obat kegundahannya.
Sudah dua hari ia bertahan di Pariaman. Kota kecil yang berbatasan dengan kota Padang. Pagi-pagi sekali Hana pergi joging. Jam masih menunjukkan jam 5.45. Tlah cukup berlari ringan sekitar setengah jam. Hana pun berhenti untuk ber istirahat. Langkahnya berjalan menuju ke tempat dimana aroma asin tercium kentara. Pagi yang indah. Hana menikmati pantai itu. Mengingat sedikit demi sedikit. Setelah sekian tahun. Kali inilah ia baru bisa datang ke tempat ini. Sebuah kejadian harus merubah jalan hidupnya. Terjerumus ke dalam kesepian dan ia harus bertahan melawannya. Andai saja bang Ergi.... Ia mengingat kejadian yang sudah sangat lama sekali. Saat itu Hana merasa apa yang tlah menimpa hidupnya dan keluarga adalah ketidak adilan Tuhan padanya. Meninggalnya bang Ergi membuat ia sangat sedih. Sedih itupun tidak terbendung. Bahkan saat ia berdiri di pantai ini. Masih sangat sepi. Bebas bagi matanya menatap mega-mega dengan ingatan masa lalu yang berputar di ingatannya. Ia harus bertahan di Jakarta dengan Kak Muthia. Melanjutkan sekolah dan kuliah dengan benar. Ingat betul olehnya, saat memohon untuk ikut pindah ke Padang. Ia ingin sekolah dan kuliah di Padang saja. Tapi itu ditolak. Hana harus bertahan di Jakarta. Kuliah di Universitas terbaik di sana dan bertahan dengan luka-luka itu. Walau sangat sedih, Hana harus tetap menerima. Setitik air mata jatuh dari pelupuk matanya. Dilepasnya sepatu sportnya dan menginjakkan kaki di atas buih-buih ombak. Ia benci smua itu, tapi malah ia smakin sulit melupakan yang tlah terjadi. Harusnya ia bisa meniru ombak-ombak itu. Mereka menggulung dengan energi yang besar tapi ia kan pecah di penghujung dan tinggal buih-buih yang pada akhirnya menghilang di telan pasir-pasir yang di injaknya saat ini.
Sepulang dari olah raga, keringat membasahi tidak hanya tubuhnya tapi juga bajunya. Pagi yang segar sangat terasa setelah mandi. Ibu datang dengan membawakan segelas susu hangat.
“Minumlah. Ini juga ada roti lapis dengan taburan keju yang banyak”
“Keju yang banyak. Hana gak anak kecil lagi ibu. Keju bikin Hana gemuk”
Tawa sembringah menghiasi wajah ibu. Matanya lembut menatap wajah putri yang kini tinggal satu-satunya.
“Entah ibu mau memulainya dari mana. Sungguh. Ibu tidak ingin mengungkit masa lalu. Tapi rasanya jika tidak ibu sampaikan ibu takut menyesal”
“Katakanlah ibu..” Hana siap mendengar ibu yang lama tidak bertemu dengannya. Terasa ada sedikit jarak.
 “Ibu merasa bersalah padamu. Ibu...” Air mata ibu sudah jatuh di tangan Hana yang sedang digenggamnya. Terasa sangat emosional kondisi itu.
“Maaf atas keputusan kami yang pindah dengan tidak mengikutsertkanmu. Ibu dan Ayah pikir kau akan lebih baik tinggal di kota. Kau akan dapat pendidikan yang baik. Tapi...” Ibu terisak
Mata Hana mulai memerah. Ia menahan perasaannya di depan Ibu. Dengan alasan agar tidak melukai hati ibu. Ia berusaha tampak tegar.
“Bukankah sebelum ibu pergi dulu, Ibu kan sudah menerangkan kenapa Hana harus bertahan di Jakarta dengan Kak Muthia. Smua demi masa depan Hana yang lebih baik. Lihatlah, Hana sekarang. Sudah menyelesaikan S1 Hana di Universitas yang Ibu dan Ayah inginkan. Universitas terbaik di Indonesia.

“Itu sangat berarti. Kau anak ibu. Anak ibu.
“iya,,, aku anak ibu.
Hana berdiam diri dikamarnya. Setelah perbincangan yang terasa sangat emosional itu, memang ada perasaan lega, namun di lain sisi, Hana seperti mengoyak kisah lamanya. Yang terpenting adalah ibunya. Sepertinya ibu Lena merasa lepas setelah mengatakan semua perasaannya kepada Hana. Dengan tenang ia bisa pergi ke pasar untuk membeli keperluan memasak. Ibu berencana masak enak tuk Hana malam ini. Sementara Hana, ia membuka laci meja belajarnya yang tlah begitu lama terkunci. Terakhir kali ia membuka laci itu saat ia pulang untuk meminta restu atas rencana pernikahannya. Hana sedikit terisak seketika mengingat itu. Ia mengatupkan bibirnya dengan kuat, namun bibirnya tidak berhenti menggigil. Tak hanya bibirnya, tangannya yang berusaha membuka laci itu tidak berhenti bergetar. Dikepalkannya sejenak dan menarik napas. Ini waktunya bagi Hana untuk membuka buku usang yang berisi semua kenangannya di masa lalu. Setelah sekian lama ia butuh tuk melakukan ini. Mengingat semuanya. Entah kenapa begitu merasa penting melakukannya. Bertahun-tahun yang lalu, ketika semua terasa sudah cukup sempurna bagi Hana. Ia sembuh dari penyakit yang menggorogotinya semenjak kecil, ia mendapat sahabat-sahabat yang baik hati, dan keluarga yang bahagia.   


MEMULAI MASA SULIT
Berlari, terus berlari. Ayah dan ibu beserta Hana bersama memacu kaki menuju ruang ICU. Setengah jam yang lalu tepatnya pukul 10.55, Ibu menerima telfon dari polisi yang menyatakan bahwa Bang Ergi menjadi korban pengoroyokkan yang ternyata bertempat tidak jauh dari komplek perumahan Hana tinggal. Semua sangat cemas. Dan semakin tidak karuan, setelah mengetahui Ergi tidak berada di ruangan. Dia sudah dipindahkan. Salah satu perawat laki-laki membawa Hana sekeluarga ke ruangan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kamar mayat. Ergi sesampai di ICU sudah tidak tertolong lagi, karena ia dinyatakan tewas saat dalam perjalanan ke RS. Hancur. Itu gambaran perasaan Hana. Tegar ia sampaikan kabar duka itu kepada Kak Ibang di Sumatra Barat, sementara Ayah dengan terisak menghubungi Muthia di Tanggerang.
Kabar duka menyebar dengan cepat. Semua sanak kerabat, teman datang melayat. Hanya saja ada yang aneh, banyak di antara tetangga di kompleks yang tidak datang. Isu pemerkosaan yang dituduhkan terhadap Ergi ternyata yang membuat warga kompleks seperti menjauh bahkan seolah-seolah ingin mengucilkan. Apalagi semua diperparah karena korban pemerkosaan adalah warga yang tinggal di kompleks yang sama. Sementara pihak kepolisian masih menyelidiki kasus pemerkosaan yang dituduhkan warga terhadap Ergi. Tiga hari setelah pemakaman dan guratan kesedihan di keluarga Fatah masih tersisa jelas, ketua RT mendatangi rumah Hana dengan beberapa orang lainnya yang dikenal sebagai tokoh masyarakat di komplek Hana tinggal. Hana mengintip, menguping pembicaraan antara Ayahnya dengan orang-orang itu. Pembicaraan itu belumlah selesai, namun sepertinya Hana sudah bisa menangkap apa yang akan terjadi pada keluarganya. Hana berjalan dengan lesu ke dapur dan tiba-tiba memeluk Ibunya. Air matanya mulai runtuh berderai membuat ibu Rohana terkejut.
“Kenapa denganmu nak?
“Kita harus meninggalkan rumah ini, kita diberi waktu dua minggu. Cuma dua minggu bu..”
Ibu lansung mengerti dan menarik Hana ke dalam pelukkannya.
“Tidak ada yang boleh mengusir kita. Kita hanya akan pergi jika kita menginginkannya. Jangan kuatir, pergilah ke kamar. Bukankah besok Hana harus ujian”
Hana mengusap air matanya. Ia berjalan menjauihi Ibunya. Sementara ibu Rohana segera menelpon Muthia yang sekarang ini sudah di Tanggerang.

Kring..kring....
“Hana..
“Siska, bisakah kamu menjem...put ku ke rumah besok?
“Hana ingin bareng dengan ku... Tentu, pasti aku jemput ke rumah besok.
“Trims...
“Hana... (Siska dengan nada sangat rendah menyapa kembali)
“Ya...
“Besok, besok harus semangat. Harus konsentrasi. Karena besok adalah hari pertama kita Ujian Nasional. Kita harus berhasil. Kita bersama-sama. Hana ngerti kan?
“Tentu... Oh ya, datanglah lebih awal. Ada hal yang ingin aku sampaikan.
“Pasti... See you.
“See you tomorrow.

Hana membuka lembar demi lembar catatan Bahasa Indonesia dan Matematika. Tidak banyak yang bisa ia pelajari. Baginya buku itu sudah tuk kesekian kalinya ia baca. Rasanya semua materi yang tertulis sudah diluar kepala. Semakin larut,ia semakin sulit tuk tidur. Hatinya berdebar-debar menunggu hari esok. Bukan karena Ujian Nasional yang akan dihadapinya. Tapi karena sesuatu yang akan dilakukannya esok. Oleh karena itu ia membutuhkan Siska tuk menolongnya. Tepat pukul 06.30 wib, Siska sudah sampai didepan rumah keluarga Fattah. Ia  tampak dibalik pagar rumah kediaman keluarga Fattah sambil mondar mandir sedang berpikir apa yang akan dilakukan Hana dengan pagi ini. Bapak Prabudi Fattah tampak sedang memanaskan mobil  tuk bersiap-siap pergi ke kantor, tepatnya Kantor Pengadilan Wilayah III, Jakarta Timur. Dia tersenyum saat menyadari kehadiran Siska di balik pagar rumahnya.
“Heps... Ini masih setengah tujuh, sudah mondar-mandir begitu didepan pagar Ayah”
“Ayah, Siska kaget tau...”
“Masuk dulu, sekalian sarapan ama Hana”
Tiba-tiba Hana menyerobot muncul dibalik punggung Ayahnya, tergesa-gesa bersalaman dan menarik Siska tuk segera pergi.
“Eh...eh.... Hana tidak sarapan dulu, ajak Siska sekalian”
“Iya Hana....Aku tidak sempat sarapan di rumah tadi lho...Ku pikir akan sarapan di sini”
“Gak Sis, kita harus buru-buru pergi” Hana berbisik. Siska harus mengerti kali ini. Ia bersalaman dengan Ayah dan minta di doakan ujiannya sukses.
“Tidak perlu pergi sepagi ini. Anak-anak itu terlalu cemas. Sistem yang membuat mereka cemas. Ya Allah, semoga Hana dan Siska bisa menjawab soal-soal ujiannya dengan benar”

Langkah Hana semakin memburu dengan nafas mulai tidak beraturan. Ia tampak mulai gugup, namun tetap mencoba tuk berkonsentrasi. Awalnya Siska berpikir mungkin ini dikarenakan ujian, tapi pasti ada hal yang lain. Pas di persimpangan bus, Siska menghentikan langkah. Hana segera menyadari itu. Siska tampak menunggu sebuah penjelasan.
“Kamu gak akan ke Sekolah kan. Mau kemana?”
“Sis...Aku mau ke tempat cewek itu. Aku akan  cari tahu apa yang telah terjadi. Aku butuh satu jam dari sekarang. Aku akan terlambat datang mengikuti ujian Bahasa Indonesia dan aku kan sulit menjawab soal matematika. Aku butuh bantuan mu. Tolong  karang alasan apa saja mengenai keterlambatanku nanti”
Siska terpana dan mulai merasa lunglai. Ia berpikir keras mengenai Hana. Apa hal yang harus dilakukannya terhadapa Hana. Mencegahnya atau membiarkannya atau malah mendukung keputusan dan segala perbuatannya.
“Jangan begini Hana. Jangan mempersulit dirimu”
Siska menarik Hana ke dalam pelukkannya.
“Aku....Kau tahu, betapa sedihnya. Jangan begini. Jangan begini”
Tegar Hana delam pelukkan Siska dan melepaskan pelukkan itu dengan tenang.
“Ini harga diri, ini martabat dan nama baik orang-orang yang kucintai. Aku sangat sayang dengan Bang Ergi. Ini penghinaan dan fitnah bagi Abangku. Dan hal yang paling buruk adalah.... Adalah karena fitnah ini, Abangku telah direnggut. Aku tidak bisa terima rasa sakit hati begitu saja”
Hana menatap haru Siska. Siska kembali memeluk Hana dengan membisikan kalimat “Aku akan menunggumu kembali” Siska melepaskan Hana dari pelukkannya.
“Pergilah, tapi kembali secepatnya. Ini juga sangat penting. Bagiku, Hana sangat penting”
Senyum mengulum di bibir Hana. Ia berlari menuju bus ke rumah sakit Mulyono. Sementara Siska hanya bisa berharap Hana akan baik-baik saja.
Tinggal 20 langkah lagi Hana menepakki masuk ke dalam ruang perawatan mawar no.8, namun ditahannya. Ia seperti berusaha berkonsentrasi dan menyelidiki situasi di dalam. Dengan kemampuan pikiran yang telah dibawanya sejak kecil, Hana mulai mengalihkan konsentrasi seorang ibu yang sedang menunggui Ratiya di dalam. Ia butuh 10 menit masuk ke dalam pikiran ibu itu.
“sayang, makanlah sesuatu pagi ini. Duh, makanan rumah sakit memang tidak ada yang enak, tapi Ratiya sayang harus tetap makan untuk mengganjal perut mu. Ayo, sedikit saja nak”
Ratiya seolah tidak bergeming. Sejak kejadian na’as yang menimpanya tiga hari yang lalu, Ratiya berubah dan sering diam termenung. Tatapan matanya kosong dan seperti tidak bisa mendengar apa yang dikatakan orang-orang di sekitarnya.
“Kalo ibu pergi keluar sekarang, ibu berarti harus meninggalkanmu sendiri. Apa tidak apa ya? Tapi mungkin saja kamu ingin makanan yang lebih berbumbu, seperti bubur ayam misalnya. Pasti sudah ada yang jual dekat rumah sakit ini. Ratiya, kalo makan bubur ayam mau nggak? Ibu akan beli bubur ayam, tapi kamu makan ya nak. Kamu harus makan, infus saja tidak cukup. Ya nak?”
Ratiya seperti refleks mengangguk meng-iyakan ibunya. Sontak itu sangat surprise bagi ibu Lena, karena anaknya jarang sekali merespon ucapannya. “baiklah, ibu akan keluar bentar ya”
Cuma butuh beberapa menit, Hana berhasil mengingkirkan orang yang di anggap pengganggu urusannya. Namun, efeknya hanya bertahan selama 15 menit, jadi selama itu Hana harus menyelesaikan tujuannya datang ke sini. Untuk mencari tahu kebenaran dan melihat apa yang telah terjadi melalui Ratiya yang melihat dan mengalami kejadian itu langsung.
Hana menguak pintu kamar perawatan Ratiya dengan pelan, agar tidak mengejutkan kesadaran Ratiya. Hana sudah mulai menguasai seluruh ruang pikiran Ratiya. Perlahan Hana menghampirinya dan duduk berhadapan di ranjang pesakitan Ratiya saat ini. Ia mulai membuka tabir kekuatannya secara penuh dan menerobos ke dalam long term memori nya Ratiya. Mereka berkomunikasi lewat alam bawah sadar masing-masing. Tidak akan ada sepatah kata pun yang akan keluar dari mulut masing-masing. Tidak akan terjadi obrolan layaknya orang yang berkomunikasi secara verbal. Mereka hanya bicara dalam hati masing-masing.
“Ratiya, kamu kenal abang ku. Bang Ergi. Abang yang paling ku sayang. Kamu kenal dia gak? Aku tahu bukan dia, bukan dia yang melakukan semua ini pada mu. Ku mohon, biarkan aku masuk lebih jauh lagi, lebih dalam lagi Ratiya. Biarkan aku menemukan fakta yang sebenarnya. Demi harga diri dan nama baik Bang Ergi...”
Hening.
“Terima kasih Ratiya...”
Hana sudah memulai pembicaraannya dan ia berhasil masuk. Ia menarik tangan Ratiya ke dalam genggamannya. Erat. Dengan memulai nafas yang lebih teratur. Hana memejamkan mata. Menarik nafas dalam perlahan dan menghembuskannya kembali. “Dapat”
“Tidak...Tidak...” Hana mulai berguman dengan nyata secara verbal. Dan terus berulang kali mengatakan tidak. Mengekspresikan sesuatu hal yang tidak bisa diterima olehnya. Ritme gumamannya semakin tidak beraturan dan semakin keras. Hana berteriak. “Tidaaaak.... Tidak mungkin. Tidak boleh”
Hana bangun dari alam bawah sadarnya. Ia kembali kedalam pikiran, logika dan jiwanya secara utuh. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Tampak dari seragamnya nya yang basah, padahal ruang perawatannya ini difasilitasi AC. Ratiya tampak tersentak. Ia kembali kepada kondisinya semula. Matanya melotot melihat seseorang yang tajam memandang ke arahnya. Kesadarannya perlahan kembali dari depressi yang di alaminya. “Siapa kau? Siapa?”
“Kau tanya aku siapa? Gara-gara kau sialan. Gara-gara kebodohanmu. Gara-gara kau hanya memikirkan dirimu sendiri. Dasar tidak tau terimakasih kau sialan”
Ratiya semakin pulih dari tekanan jiwanya dan logikanya mulai kembali pulih dengan sempurna. “apa yang sedang kau ocehkan. Keluar dari kamar ku. Ibu... ibu... dokter... keluar kamu!”
“Keluar? Kau harus bayar semua yang kau timpakan kepada abangku dulu brengsek. Gara-gara kau, abang ku tewas dikeroyok preman-preman sialan itu. Padahal abangku, abangku yang baik hati, yang dengan berani mau menanggung resiko demi menolongmu. Tapi apa? Kau hanya peduli dengan kesakitan mu sendiri. Dan membiarkan fitnah keji itu dituduhkan pada abang ku sampai ia mati”
“Kau gila! Keluar! Tolong....! Ratiya berteriak
“Diam!” Ratiya tiba terdiam. Mulutnya seperti sedang disumpal. Tapi itu terjadi begitu saja, tanpa kontak fisik. Ia terdiam membeku di ikuti tubuhnya yang juga ikut kaku.
“Bukan aku yang gila, tapi aku bisa buat kamu sungguh gila, bahkan ku bisa membunuhmu” Seringai senyum Hana membuat Ratiya menjadi takut. Sekuat mungkin ia melawan ikatan tak kasat mata yang membelit tubunhnya. Ia ingin sekali lari.
“Ratiya, ini terakhir kalinya kau bisa mengenali nama mu dan dirimu sendiri. Maaf, andil terlalu besar dalam masalah ini. Aku tidak pernah bisa melepaskanmu. Dosa ini pasti akan mendatangkan karma bagiku suatu hari nanti. Dan betapapun Master mengingatkanku, kali ini aku tidak sanggup menerimanya, semua kenyataan dan kepahitan. Selamat tinggal Ratiya”
Hening.
Nafasnya memburu dan ia merasakan kelelahan luar biasa. Tenaganya terkuras habis. Kerongkongan terasa kering dan Hana pun meminum segelas air yang disediakan untuk Ratiya. Ratiya membiarkannya, seolah tidak peduli, tidak acuh dan tidak menganggap keberadaan Hana. Tatapannya kembali kosong seperti di awal pagi tadi. Ratiya kembali membisu dan tanpa ekpressi apa-apa. Begitu tenang dan diam.
“Ini lebih baik Ratiya daripada mimpi buruk yang pernah kamu alami sebelumnya”
Langkahnya gontai keluar dari rumah sakit. Ia kembali menarik nafas yang dalam mengumpulkan energi dari lingkungan sekitar.
“Energi disini kurang baik. Aku lelah sekali. Andai mereka tau, disini tidak cocok tuk membangun sarana kesehatan. Orang-orang akan lama tuk sembuh disini”

                                                             *****

Siska menjilat es krim yaang dibelikan Hana buatnya. Biasanya setiap Siska membatu ujian matematikanya, Hana akan mentraktirnya makan es krim dan sate.
“Cepat makan es krimnya. Habis ini makan sate Padang, lima tusuk sate aja ya? Uangku habis tuk naik bis tadi pagi”
Mendengar kata pagi, serasa cepat sekali lumer es krim dimulutnya. Ia menelannya tanpa merasakan rasa manis nya lagi.
“Gak usah sate Padang. Biasanya agak mahal”
“Ada yang murah, aku tau tempatnya. Dagingnya juga lumayan. Siska pasti suka”
Siska memalingkan muka tuk menyembunyikan ekpresinya yang tidak karuan. Sesekali ia menggigit bibirnya. Ia ingin bicara, tapi mulutnya seperti ada beban berat yang mengikat, seolah tidak bisa digerakkan. “Oh, andaikan aku punya the six sense seperti dia”
“Hana?
Ia menarik wajahnya sejajar dengan wajah Hana, menfokuskan matanya dengan mata Hana. Ia menatap lekat-lekat mata Hana.
“Bisa Hana ceritakan apa telah terjadi tadi?
“Sis, aku gak bisa sekarang. Please”
Hana bicara sambil menaikkan sebelah alisnya. Siska tampak langsung mengerti.
“Kapan beli satenya? Nikmatnya sudah terbayang nih di lidah. Hmmm, yum yum”
Sekejap mata Siska sudah melahap tiga tusuk daging sate Padang dengan rasa khas kuahnya yang pedas. Tempatnya sederhana dipinggir jalan dan tidak terlalu rame.
“Gimana? Enak?”
“Hana, makasih yah. Semasa SMA nanti, sering-sering aja kayak gini. Aku akan dengan senang hati membantu menyelesaikan tugas Matematika mu”
Siska yang asyik berbicara tidak menyadari kalo ada kuah sate yang menempel di bawah bibirnya.
“Sinih, ku bersih in” Hana mengelap kuah sate dimulut Hana. Lembut. Awalnya ekpressinya terlihat biasa-biasa saja, namun perlahan mata Hana berkaca-kaca menatap Siska. Siska merasa ada yang salah dan sekejap perasaannya ikut terbawa emosi Hana. Tangannya meraih bahu Hana merapatkannya tepat disisi bahunya juga. Ia berbisik tenang.
“Katakan aja. Cerita in ma aku, please!”
“Sebenarnya,... sebenarnya” Hana menarik nafas panjang. “Sis, gue dah bunuh dia, cewek itu”
Siska kaget, tangannya gemetar. Ia menggenggamnya tuk menghilangkan rasa itu. Ia berpikir sejenak. Hening. “Oh, andaikan aku punya the six sense seperti dia”
“Gak mungkin Han, loe, loe... lakuin itu. Katakan lebih jelas lagi. Itu kriminal. Tidak beda jauhnya dengan mereka-mereka itu. Katakan!” Siska membentak dalam bisikkannya. Desis bisikkan itu terasa tajam di telinga Hana. Air matanya pecah, namun ia tetap berusaha menahan luapan emosinya. Sementara warung satenya mulai ramai dan sekarang Hana benar-benar ingin beranjak pergi. Ia tidak ingin ada yang memperhatikan. Ia tegak, tapi Siska bersikeras menahannya.
“Duduklah dulu, kita di pojok kok. Gak akan jadi masalah. Selesaikan semuanya disini’ Hana mendengarkan, dan perlahan duduk kembali.
Ia menghapus air matanya dan kembali menatap Hana.
“Gue udah bunuh dia, tapi tenang aja. Polisi gak akan temuin bukti apa-apa. Karena,...”
“Loe bilang bunuh Han. Gue gak percaya. Apa  Yang  Udah  Terjadi  Han?”
“Gue baru menyadari kalo gue merasa bersalah. Gue berdosa. Gue menyalahi aturan. Gue membunuh jiwanya. Dan,... membiarkan ia hidup seperti zombi”
Siska melepaskan nafas. Ia merasa sedikit agak lega. Walau sedikit. Pembicaraan dihentikan Siska sampai disitu saja. Ia tidak bertanya lagi atau membiarkan Hana bercerita. Siska tidak tega dengan kondisi Hana dimana perasaannya pasti terganggu. Ia mengantar sampai depan rumah dan memastikan Hana masuk. Setelah itu, ia bergegas pergi ke rumah sakit tempat cewek yang yang diceritakan Hana.
Ia berlari ke meja informasi. Suasana rumah sakit yang kelam membuat bulu remangnya berdiri. Gugup ia mendekat ke meja tempat dua orang perawat yang tampak galak bertugas.
“Permisi, numpang tanya, saya ingin tahu kamar pasien yang bernama Ratiya”
“Bentar, disini ada tiga orang yang namanya Ratiya. Ratiya yang mana?”
“Oh,..  Duh, gua lupa nama panjangnya. Ratiya, dia salah satu korban perkosaan minggu yang lalu. Dia dirawat disini kan?”
Perawat itu menyikut pelan rekannya dan saling berbisik. Mereka berbicara bergantian dengan Siska.
“Kamu siapanya?”
“Saya? Saya teman adeknya di sekolah”
“Kamu terlambat dek, orangnya udah dipindahin dari RS ini”
“Dipindahin? Ke RS mana?”
“RSJ Kebayoran...”
“Ternyata benar. Itu yang dimaksud Hana. Ia dah bikin cewek itu gila”
“Tapi, kata adeknya, ia baik-baik aja, Cuma shok”
“Katanya sih iya awalnya cuma shok gitu aja ya Tet ya?”
“Tadi pagi pas ditinggal ibuknya keluar. Ada perawat masuk. Eh, dia malah nyerang perawat itu membabi buta, sampe luka. Si Ati ya Neli ya?”
“O ya, bener si Ati yang kena serang itu”
Dasar tukang gosip. “Makasih yang sus, saya permisi pulang”
Oh Tuhan. Kasihan Hana. Teganya dia berbuat kayak gini ama cewek itu. Kalo kayak gini, dia hanya akan dihantui perasaan menyesal seperti yang dikatakannya tadi.
Rupanya Siska tidak langsung pulang. Sore itu juga ia berangkat ke rumah Hana. Ia begitu leluasa di rumah itu.
“Siska, makan dulu. Nih udah Ibu siapin. Ada rendang. Ntar aja naik ke atas. Palingan Hana masih tidur. Kalo dah molor, susah dibangunin”
“Ya Buk.
Siska tetap menyantap nasi dengan lauk rendang dan kerupuk ikan dipiringnya. Ia santai duduk sambil menonton TV. Namun hati kecilnya masih saja bertanya-tanya. Berharap semoga aja Hana bangun dan turun ke bawah.
“Buk, ayah kok belum pulang? Biasanya jam segini udah nyampe rumah?”
Ibu mendekat. “Ayah ngurus surat-surat dan ada hal yang juga harus segera di bereskan” Kening Siska mengkerut. Memasang wajah bingung.
“Ayah mau pindah kantor”
“Pindah? Kemana?”
“Udah-udah, ayo nambah nasi ama lauknya”
“Ini Siska udah full Buk. Kok si Hana lama banget bangunnya. Dah jam lima lho buk”
“Bangunin aja gih”
Siska menanjakki jenjang menuju ke atas. Kamar Hana  tampak tertutup rapat. Perlahan ia menguak pintu, kakinya beringsut melangkah ke ranjang. Terlihat Hana yang masih berbaring. Dibalik pelupuk matanya yang terpejam tampak basah. Siska tahu, ia tidak tidur, tapi menutup mata menyembunyikan tangisnya.
“Jika hanya akan membuat mu menyesal, mengapa melakukannya?”
Hana bangun, membuka matanya perlahan. Sisa air matanya semakin jelas membekas di matanya yang sedikit memerah. “Kebencian membuat hati kelam dan lupa segalanya. Gue kepengen semuanya berakhir dan tidak ada lagi penderitaan. Setidaknya, gue melepaskan cewek itu dari penderitaannya. Penderitaan yang sulit dibuang dan akan menggentayanginya seumur hidup. Gue begitu kesal” Siska menarik nafas. Matanya tak lepas dari Hana yang terisak-isak berbicara. “Lalu, katakan, aku harus ngomong apa Han. Gue harus ngomong kayak gimana? Gue bingung. Rasanya, sakit yang loe rasain, juga menyemat di hati gue. Gue resah mengetahui kenyataan cewek itu mungkin gak akan waras lagi. Seseorang yang akan kehilangan kesadarannya, kehilangan jiwa dan logikanya. Itu hukuman yang sangat buruk baginya. Loe harus bilang ma gue, loe harus yakini gue kalo cewek itu pantes dapetin hukuman itu”
Hana tertunduk. “Gak pantas. Itu suatu kesalahan. Gue akui itu kesalahan gue. Saat itu dia terlihat begitu ketakutan. Orang-orang bejat itu lari setalah berbuat nista. Sangat keji dan buruk tuk disaksikan. Aku sedikit terganggu bahkan sampai sekarang bayangan itu masih tersisa jelas dibenak ini. Seketika itu Bang Ergi datang dengan tulus ingin menolongnya, tapi bodohnya, dia mudahnya tenggelam dalam ketakutan dan trauma. Bahkan ia, entah apa yang ia pikirkan. Ia seolah hanya peduli dengan kengeriannya sendiri dan ia malah menganggap Bang Ergi sama dengan orang-orang yang menggerayanginya sebelum itu. Bodohnya, ia berteriak-teriak bak orang gila, melontarkan omongan yang tidak masuk akal. Itu sontak membuat masyarakat terprovokasi dan tidak mampu lagi memakai akal sehat. Akhirnya, mereka menghakimi Bang Ergi tanpa sempat menyatakan pembelaan apapun. Tidak!” Hana kembali menangis dalam pilu akan ingatan-ingatan bagaimana Bang Ergi tewas di tangan massa yang tidak mau memberi kesempatan. Luapan emosi Hana terasa menembus ke dada Siska. Dia seolah tercekik melihat pesakitan sahabatnya ini. Ditengah keheningan, suara angin terdengar halus menyentuh daun telinga. Wangi udara dari taman menyebar memenuhi semua sisi di kamar itu. Angin membelai rambut Hana yang terurai panjang, lurus tergerai menutup setengah wajahnya.



 

Kumpulan Karya Tulis Annisa Nazar Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template and web hosting Graphic from Enakei